Pertanyaan di atas mungkin terkesan biasa, lebih-lebih bagi yang mereka yang mendapat tarbiyah Islam secara baik dan benar. Namun, tahukah Anda bahwa di sana ada berjuta-juta kaum muslimin yang kesulitan untuk menjawab pertanyaan di atas? Benar, terutama mereka yang hanya mengenyam pendidikan umum sejak SD hingga Perguruan Tinggi tanpa mendapat tarbiyah Islamiyyah yang sesuai dengan jenjang pendidikannya.
Akibatnya mudah ditebak. Berapa banyak mahasiswa Indonesia yang menyandang titel sarjana, bahkan master dan doktor yang dengan mudah termakan faham-faham sesat seperti liberalisme, pluralisme, inkarussunnah dan lain sebagainya.
Mereka seperti yang Allah sebutkan dalam QS Ar Ruum: 6-7, yang artinya: (Itulah) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.
Ayat di atas merupakan barometer dalam menilai kepandaian yang hakiki. Boleh jadi, banyak di antara kalangan yang dianggap intelektual, cendekiawan dan para pakar yang menyandang berbagai gelar ilmiyah, ternyata adalah orang-orang yang tidak mengetahui, alias ‘bodoh’ menurut Allah. Yaitu bila mereka hanya mengetahui ilmu-ilmu dunia namun lalai terhadap ilmu akhirat.
Tentu saja mereka dianggap bodoh oleh Allah, sebab mereka tidak mengerti untuk apa mereka diciptakan di muka bumi ini… tentu saja mereka bodoh, karena mereka pertaruhkan segalanya untuk kehidupan yang singkat, namun melalaikan kehidupan yang kekal abadi… mereka bodoh, bukan karena mereka tidak menjadi sarjana, atau tidak berwawasan luas, akan tetapi bodoh karena tidak mengerti agama.
Inilah tolok ukur kepandaian menurut Allah, dan tentu saja tolok ukur inilah yang mesti kita pegangi baik-baik, sebab itulah kebenaran yang mutlak dan hakiki. Simaklah apa yang dikatakan oleh para malaikat saat Allah mewahyukan sesuatu kepada Rasul-Nya. Allah berfirman yang artinya: Sehingga pabila rasa takut telah sirna dari hati mereka, mereka (para malaikat) berkata: “Apakah yang difirmankan oleh Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “(Perkataan) yang benar”, dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. Saba`: 23).
Alangkah agung wahyu yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, hingga para malaikat yang bertubuh raksasa pun gemetar hatinya tatkala mendengar wahyu tersebut. Mereka sempat tertegun beberapa saat akibat dahsyatnya ‘suara ilahi’ yang mereka dengar. Hingga setelah kedahsyatan tersebut berlalu, mereka bertanya satu sama lain: “Apakah yang barusan dikatakan oleh Allah?”, maka para malaikat pemikul Arsy menjawab: “Itulah al haq (kebenaran)” [1]. Maha benar Allah, tatkala mendefinisikan kebodohan dengan kebodohan terhadap kehidupan akhirat. Sebab sepandai apa pun seseorang di mata manusia, bila ia tidak tahu tujuan penciptaan dirinya berarti ia akan hidup sia-sia. Allah berfirman yang artinya: “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz Dzaariyaat: 56).
Inilah tujuan utama penciptaan manusia. Siapa pun yang keluar darinya berarti telah menyia-nyiakan keberadaan dirinya di dunia. Dengan kata lain, siapa pun yang tidak mau mengabdi kepada Allah atau menyembah dan beribadah kepada-Nya, berarti ia tidak berharga di mata Allah, meskipun ia menguasai seluruh dunia.
Dari sini, muncul sebuah pertanyaan penting… bagaimana cara mengabdi kepada Allah? Bagaimana cara menyembah Allah dan beribadah dengan benar? Apakah dengan akal-akalan dan filsafat, dengan berpikir bebas ala kaum liberalis? Atau lewat tasawuf dengan ratusan tarekatnya yang membingungkan? Atau bagaimana?
Anda ingin tahu jawabannya? Tak perlu jauh-jauh dan repot-repot mencari, semuanya telah disebutkan oleh Allah dalam Al Qur’an. Silakan Anda simak firman-firman Allah berikut; Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Mereka juga beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Merekalah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah: 2-5).
Cukupkah Al Qur’an saja?
Tentu tidak. Sebab Al Qur’an tidak merinci segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah. Akan tetapi di samping Al Qur’an, Allah juga mewahyukan As Sunnah kepada Nabi-Nya, dan Allah pasti menjaganya sebagaimana Dia menjaga Al Qur’an.
Al Qur’an tidak akan mungkin difahami dengan benar dan diamalkan tanpa sunnah. Rasullah bersabda:
أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ, أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
Ingatlah, sesungguhnya aku telah diberi (wahyu) Al Kitab bersama (wahyu lain) yang semisalnya. Hampir tiba saatnya, ketika ada seseorang dengan perut kenyang bersandar pada dipannya seraya berkata: “Pegangilah Al Qur’an oleh kalian. Semua yang kalian dapati halal dalam Al Qur’an maka halalkan, dan semua yang kalian dapati haram dalam Al Qur’an makan haramkan”. Ingatlah, daging keledai jinak tidak dihalalkan bagi kalian. Demikian pula setiap binatang buas yang bertaring, dan tidak dihalalkan bagi kalian barang temuan milik orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, kecuali bila sang pemilik tidak lagi membutuhkannya. Dan barang siapa singgah ke suatu kaum, maka mereka wajib menjamunya, dan bila mereka tidak menjamunya, ia boleh mengambil sebagian harta mereka sesuai yang berhak ia dapatkan” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Cobalah Anda perhatikan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari manusia yang hanya mengajak kepada Al Qur’an namun melupakan Sunnah. Kemudian beliau menjelaskan hukum beberapa masalah yang tidak satupun pernah dibahas oleh Al Qur’an. Pun demikian, beliau mengatakan bahwa itu semua adalah seperti Al Qur’an.
Nah, dengan demikian, terjawablah pertanyaan di atas: “Mengapa harus nyunnah?”
[1] lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/514.